Sore itu, kutemukan Manaon duduk termangu menatap aliran sungai Batang Gadis. Bukan tidak mungkin sewaktu-waktu ia bisa loncat dan merelakan dirinya dilahap setan penunggu sungai. Sejak mengetahui Uli Namora mau kawin, Manaon tak pernah kelihatan di sawah.
Apalagi mendengar nama laki-laki itu. Wajah Manaon berubah merah, tatap matanya tajam menyala. Seperti kejadian kamis malam lalu, aku bertemu dengan Manaon di warung. Niatku tentu mengabarkan soal lamaran Si Kodir pada Uli Namora.
“Kodir?” Manaon tersentak, nasi goreng yang masih mengepul diletakannya begitu saja. Ia seperti kehilangan nafsu makan. Sejenak kemudian, Manaon menyalakan rokok, mengisapnya dalam-dalam. Asap berembus bersama dengus napas yang panjang.
“Sudah gila, Uli Namora. Mau-maunya kawin dengan Si Kodir,”
Tak mau menambah keruh suasana, aku berupaya diam. Tetapi, Manaon terus bersungut-sungut mengeluarkan segala keburukan Kodir. Lekas aku memotongnya, “memangnya kamu punya apa? Cuma kelamin kan! Kodir, jelek-jelek gitu, dia caleg,”
Manaon muntab, ia berdiri sambil menuding ke arahku. “Dengerin Pul, semiskin-miskinnya aku, tak pernah aku mau jual sawah orang tuaku buat hal yang sia-sia!”
“Nah! Justru itu, Kodir punya nilai tawar dibandingkan kamu! Mobilnya baru, mulutnya licin, dan yang paling penting, dia berani datang ke rumah Uli Namora,” aku diam sejenak, menunggu reaksinya.
Tetapi, Manaon justru beringsut pergi. Diletakannya selembar uang dua puluh ribu di meja. “Hei, Manaon! Kemarin Kodir datang ke rumah Umak Saddam! Kamu mesti tahu itu!”
Manaon tetap tak peduli, ia melangkah pergi meninggalkanku di warung. Kurasa ia paham maksudku. Ketika seseorang datang pada Umak Saddam, tujuannya hanya dua pesugihan atau jabatan. Umak Saddam cukup terkenal di Mandailing Natal sebagai dukun paling ampuh yang mengantarkan pejabat-pejabat ke Senayan.
Cerita ini sudah sangat lama diturunkan oleh leluhurku kalau keluarga Umak Saddam memiliki berkah dari arwah penunggu sungai Batang Gadis. Yang paling popular tentunya, kedatangan salah satu calon Gubernur Sumatera Utara ke Mandailing Natal hanya untuk mencari nenek dari Umak Saddam.
Pada malam-malam yang tak pernah diketahui oleh orang, calon gubernur yang tak pernah disebutkan namanya itu rela berjalan jauh menembus hutan demi mandi di sungai Batang Gadis. Ritual kembang di bawah siraman rembulan adalah cerita-cerita yang kerap diceritakan Umak Saddam. Kenangnya, nenek Umak Saddam memasang beberapa susuk di tubuh laki-laki itu. Susuk yang konon membuat si calon gubernur menjadi lebih wibawa.
Maka tak heran, meskipun laki-laki itu bukan dari kalangan militer, ia memiliki aura kepempimpinan yang terpancar. Perkataannya banyak menghipnotis orang dan membuat siapa saja bisa rela mati demi dirinya.
Berselang beberapa bulan, calon gubernur itu menang besar di pemilihan kepala daerah. Cerita ini lekas menyebar dan berbiak menjadi cerita-cerita baru. Lekas berdatangan calon pejabat lain yang mengharap tuah si nenek.
Tetapi, ada keraguan dalam diriku tatkala mendengar cerita itu dari mulut Umak Saddam. Karena sampai sekarang pun, Umak Saddam enggan menyebut nama gubernur itu. Dia terkesan melebih-lebihkan saja.
Cerita ini pun begitu ditentang Manaon. Pernah suatu ketika ia nekat bertanya padaku, “Pul, kamu percaya dengan cerita Umak Saddam?” Aku hanya mengangkat bahu, berada di ambang percaya atau tidak percaya.
Jelas, Manaon menepis segala kebenaran cerita Umak Saddam dalam pikirannya. Apalagi, dalam dua pemilu belakangan, aku mendengar bahwa banyak calon pejabat yang datang justru gagal. Tetapi entah setan dari mana yang membawa Kodir pada Umak Saddam. Terlebih, keluarganya baru saja menjual ladang sawit dan beberapa hektar sawah untuk maju ke pemilu.
“Aku sudah tidak tahan melihat tingkah Kodir,” ketus Manaon mendapatiku duduk di sebelahnya. Kami menatap aliran sungai Batang Gadis. Aku paham perasaanmu, ingin kukatakan demikian, tetapi Manaon justru terus berbicara hal-hal yang tidak-tidak.
Jika bukan karena Uli Namora, Manaon tak akan segelisah ini. Alih-alih memperhatikan tingkah busuk Kodir, Manaon sudah pasti cemas akan nasib pujaan hatinya itu. Di usia yang sudah matang, Uli Namora memang memiliki kecantikan yang nyaris sempurna. Berhidung mancung, rambut panjang sedikit bergelombang, mata yang indah, dan bibir yang tipis menawan. Aku seringkali tak percaya kalau Uli Namora berdarah desa di pinggir sungai Batang Gadis ini. Maka aku pun tak akan menyalahkan mata Kodir atau nafsu kebinatangannya yang membara melihat kecantikan Uli Namora.
Kodir memang berubah drastis akhir-akhir ini dan orang-orang sepertinya senang-senang saja melihat perubahan Kodir. Ia jadi sering datang ke masjid, datang ke perkumpulan desa, hingga kerap menyelenggarakan kegiatan bakti sosial yang melibatkan berbagai sekolah. Kami seperti bersepakat menyambut setiap pemilihan umum dengan suka cita. Hal ini disebabkan mereka yang sedang mencalonkan diri akan berbaik hati pada kami, warga biasa. Dan selanjutnya, tidak usah ditanya, banyak pemberian entah itu dalam bentuk bantuan sembako atau pembangunan sederhana, perbaikan gapura desa misalnya.
“Lalu apa rencanamu?” tanyaku pada Manaon memecah keheningan. Ia menatapku, tetapi pandang matanya terkesan memelas. Seperti sudah tidak memiliki harapan. Sebesar itukah rasa cintanya pada Uli Namora? Hingga meruntuhkan semangat hidup seorang Manaon.
Hari-hari berikutnya, Manaon semakin jarang keluar rumah. Paling banter, ia pergi ke pinggir sungai Batang Gadis. Seperti mengenang masa lalunya dengan Uli Namora. Dulu mereka kerap bermain bersama di sana.
Sedangkan Si Kodir semakin giat berkampanye. Berbagai janji mulai diumbar, mulai dari renovasi balai desa hingga perbaikan jalan. Katanya, ia memiliki teman di pusat yang bisa memuluskan segala pengajuan dana.
Tujuannya hanya satu, kemakmuran desa kita! Begitu ucapan Kodir yang disambut riuh tepuk tangan. Belakangan aku juga kerap mendapati Si Kodir melakukan hal serupa di beberapa desa tetangga. Bulan depan sudah waktunya pemilihan, ia seperti kejar waktu untuk menghimpun suara.
***
Meski cerita Umak Saddam tidak semuanya aku percayai betul, ada satu pesan yang begitu menggetarkan hatiku. Hanya ada dua hal yang bisa membuat laki-laki keblinger, perempuan dan jabatan, ucapnya sambil mengunyah sirih pinang. Ucapan it uterus melekat dalam benakku, terlebih melihat kenyataan yang terjadi hari ini.
Aku duduk di atas batu bersama Manaon menatap aliran sungai Batang Gadis. “Pul, kamu ingat perkataan Umak Saddam? Kalau mau jadi pejabat mesti pegang 3D,” ia berhenti sejenak dan menoleh padaku.
“Dukun, duit, dan dekingan. Hari ini, tambah ada satu lagi perkataan Umak Saddam yang tak perlu kita percaya.”
Ucapannya berhenti lagi, ia menyalakan rokok, lalu kembali menatap ke arah sungai. Di seberang kami, Kodir jongkok sambil berteriak histeris. Dua orang memegang tangannya dan Umak Saddam berkali-kali mengguyur tubuh Kodir dengan air dari sungai Batang Gadis. Ia gagal dalam pemilu dan Uli Namora kabur bersama laki-laki lain.(*)
Penulis : Muttaqin Kholis Ali, guru Informatika di SMA Negeri 1 Tambangan Kabupaten Mandailing Natal.