Binar cahaya menembus celah jendela ruangan bernuansa putih ini. Diluar, mentari menyorot tegas semua benda di permukaan bumi. Mentari yang awalnya malu malu saat menampakkan diri, kini sudah berdiri gagah dihamparan langit biru berhias awan seputih salju.
Tok tok tok
Sepasang sepatu hitam terdengar menapakkan kaki di atas lantai sederhana berbahan semen. Derap langkahnya terdengar begitu berirama dan juga percaya diri. Sontak, dua puluh lima pasang mata menaruh atensi pada suara tersebut.
Dan beberapa sekon kemudian, muncul seorang pria dengan rambut rapi yang berwarna hitam legam, kulit putih kemerah- merahan bekas sorotan sinar matahari, tas besar yang kuduga berisi seperangkat alat canggih, dan tak lupa tubuhnya yang terbalut seragam coklat khas pakaian dinas. Dan ya, he’s our teacher, he’s our homeroom teacher, welcome Mr. Kholis, our Inspire Teacher.
Guru, definisi insan mulia yang tak diabadikan namanya. Kala langkah ini tertatih dalam kegelapan, ia selalu hadir membantu, entah itu memapah, memberi tongkat, menyalakan api penerang, atau dengan tangan terbuka mengulurkan jemari indahnya. Teruntuk guruku. Dari muridmu yang pemalu
Semua guru itu sama, sama-sama membawa kita menuju pintu kesuksesan. Selama 12 tahun aku mengenyam bangku pendidikan, ada beragam karakter guru yang aku temui. Aku menyayangi semua guru, itu jelas. Namun ada satu guru yang begitu menginspirasiku, beliau selalu memotivasi ku untuk menjadi orang yang lebih maju.
Namanya pak Kholis, beliau mengampu mata pelajaran TIK sekaligus menjadi wali kelasku saat kelas 10 dulu. Beliau masih muda, namun sudah menyandang gelar S2. Tapi, bukan hanya gelar tersebut yang membuatnya begitu istimewa di mataku. Ada hal menarik darib beliau yang membuatnya begitu disenangi murid-muridnya. Ucapan motivasi, nasehat, bahkan semua hal baik yang beliau lakukan tak luput dari pandanganku.
Beliau orang yang sangat tegas, namun disisi lain juga begitu lembut. Beliau sangat pandai menempatkan karakter beliau pada setiap muridnya.
“Ini buku siapa? Kenapa nggak pakai nama? Mana bapak tahu siapa namanya. Yang merasa ini bukunya silahkan ambil kedepan” katanya dengan suara tegas.
Dengan takut-takut, aku maju kedepan untuk mengambil buku tersebut. Sungguh malang nasibku, ini merupakan kali pertama aku lupa memberi nama pada buku tugas, dan aku sudah mendapat kalimat yang kurang mengenakkan begini. Huh, nasib nasib.
Orang tersebut melihat wajahku sekilas, kemudian berujar “ Lain kali kalau mengumpulkan tugas harus dikasih nama. Sebagai seorang murid, kita harus mempunyai catatan yang terstruktur. Bapak nggak mau lagi kedepannya menjumpai buku yang tidak punya nama pemilik. Mengerti?” ucapan orang didepanku sungguh terasa mengintimidasi, padahal beliau mengatakannya dengan nada yang terkesan biasa saja.
“Baik pak” kataku
“Heh Ulil kok ngelamun?” Tanya seseorang padaku. Kalimat tersebut mampu membuatku kembali terlempar ke dunia nyata. Ya, dari tadi aku terlalu sibuk melamunkan awal kisahku di masa putih abu abu.
“Hehe, nggak ada pak, maaf pak” ucapku tersenyum kikuk.
“Oke, lain kali jangan melamun lagi ya Ulil, bapak gak suka ada yang bengong kalo bapak lagi menjelaskan, dan jangan lupa buku catatannya, kalau ada hal penting dari apa yang bapak sampaikan tadi, catat di buku catatan” tegur beliau mengingatkan aku pada kesalahan yang baru kuperbuat.
Aku selalu suka dengan apa yang beliau lakukan, caranya menyampaikan materi, caranya menasehati muridnya yang salah, caranya mendengarkan muridnya saat berbicara, caranya mencairkan suasana, dan jangan lupakan caranya membuat murid ketar-ketir dengan berbagai pertanyaan yang membuat pusing tujuh keliling.
Apalagi ketika beliau menceritakan pengalamannya saat memenangkan berbagai lomba dulu. Hal tersebut selalu membuatku iri. Segala prestasi yang beliau torehkan selalu menginspirasiku untuk dapat mengikuti jejak
kesuksesan beliau.
“Baiklah kembali ke topik kita tadi, jadi berdasarkan hasil kesepakatan kalian, siapa yang akan kita utus untuk perwakilan sekolah kita pada lomba puisi kali ini?” tanya beliau seraya menatap riak wajah kami bertiga satu persatu.
Ketiga anak manusia didepan beliau hanya diam sambil menundukkan kepala dalam dalam. Tidak ada yang mau menurunkan sedikit ego untuk mengundurkan diri sebagai peserta lomba kali ini.
Jadi, ada lomba cipta dan baca puisi yang akan dilaksanakan ditingkat kabupaten, kami bertiga dipanggil untuk mengikuti lomba tersebut. Dan ternyata, perwakilan per sekolah hanya boleh maksimal dua orang sehingga salah satu dari kami harus dieliminasi. Kami bertiga memiliki kemampuan yang bisa dibilang setara, kami memiliki keunggulan unik masing-masing. Sehingga, Pak Kholis selaku guru pembimbing memberi kami kesempatan untuk menunjuk salah satu dari kami yang akan mundur dengan melakukan musyawarah.
“Jadi, bagaimana? Tidak ada yang mau mengalah? Kalau tidak ada bapak akan langsung tes kalian dan jangan sedih jika salah satu dari kalian harus….”
“Ulil pak” kataku memotong kalimat beliau. Dengan sangat berat hati, aku mengundurkan diri sebagai peserta dari lomba ini. Aku mengalah, karena aku merasa memang posisiku yang terpojokkan, aku merasa bahwa aku tidak lebih mampu dari mereka.
“Ulil yakin?”tanya beliau.
Dengan sisa tangis yang belum juga mereda, aku pun mengangguk. Melihat aku yang mengalah, kedua temanku tentunya tidak terima, dan berakhirlah kami bertiga yang menangis bersama.
Setelah benar-benar dieliminasi, aku hendak keluar dari perpustakaan untuk kembali lagi ke dalam kelas. Aku ingin menata hatiku. Aku kesal, sangat. Tapi bukan kepada kedua temanku yang tidak mau mengalah. Tapi kepada diriku sendiri, kenapa aku tidak bisa lebih baik dari mereka. Aku juga kecewa, kenapa aku sangat mudah mengalah dari orang lain dan kenapa aku selalu memiliki sifat tidak enakan. Huh, duka lara seorang introvert.
Pak Kholis memang sungguh bijaksana, beliau lebih menyuruh kami untuk bermusyawarah memilih siapa yang akan mengundurkan diri dari lomba daripada memilih sendiri murid yang akan dieliminasi dan berakhir salah satu yang dieliminasi akan sakit hati. Beliau juga sempat menyemangatiku atas ketuputusanku mengundurkan diri tadi.
“Terimakasih sudah mengalah Ulil. Bapak tahu kamu mampu, sangat. Tapi ini merupakan kompetisi. Ulil mengalah bukan berarti kalah. Ulil sudah menang dihati bapak dan kita semua. Sebagai gantinya, bagaimana kalau besok Ulil tetap ikut ke Bina Nusantara ? Ulil disana bisa bantuin Bapak buat video penampilan Nia dan juga Syila” ucap pak Kholis. Lagi dan lagi, aku berkata ya. Ntahlah, mungkin besok disana aku akan menjadi seorang tukang poto dadakan.
……………………………..
“Wah sekolahnya keren ya pak!”seruku saat baru memasuki salah satu sekolah favorit didaerahku.
Saat ini aku sedang berada di SMA Bina Nusantara, tempat diadakannya lomba Cipta Baca Puisi yang akhirnya diikuti oleh dua temanku, Nia dan Syila. Tidak sia-sia aku mengiyakan ajakan pak Kholis kemarin, karena nyatanya aku sangat menyukai suasana disekolah ini. Beliau kemudian terkekeh dan berkata
“ Iya emang keren Ulil. Kalau bisa diulang, Ulil kira-kira mau nggak sekolah disini?”tanya beliau.
“Mau dong pak”kataku dengan semangat.
“ Tapi Ulil gak punya uang pak, makanya dulu nggak daftar disini. Soalnya sekolah disini pasti mahal. Kan sekolah favorit” lanjutku dengan wajah murung.
Melihat air mukaku, beliau memberiku motivasi juga pencerahan.
“Yaudah, yang sudah berlalu biar jadi masa lalu. Masa sekarang Ulil harus perbaiki. Ingat, hari ini adalah apa manifestasi dari apa yang Ulil lakukan kemarin, dan hari esok adalah manifestasi dari apa yang Ulil lakukan hari ini. Jadi Kalau tidak bisa sekolah di SMA favorit, setidaknya nanti Ulil kalau kuliah harus di universitas favorit,oke?” Kalimat beliau selalu mampu memacu semangatku.
“Siap pak” kataku sambil tersenyum. Beliau lanjut mengajakku berjalan-jalan mengelilingi sekolah ini bersama teman-teman yang lain.
“Ulil tahu, ini tujuan utama Bapak mengajak Ulil ikut disini, sebenarnya bukan untuk memvideokan mereka yang lomba. Tetapi melihat lingkungan sekolah ini, menilai sekolahnya supaya Ulil tahu, ada banyak murid ambis dari luar sekolah kita yang juga sedang bersaing mengejar mimpinya sama seperti Ulil. Jadi Ulil harus rajin belajar” ucap beliau panjang lebar.
“Kenapa bapak nggak jadi dosen aja, atau nggak dengan gelar S2 dan juga skill bapak, bapak bisa jadi seorang guru di sekolah favorit, bukan disekolah biasa yang isinya murid-murid bandel dan susah diatur. Pasti disekolah favorit gaji bapak juga bisa lebih tinggi ” tanyaku siang itu saat kami selesai memakan lontong di kedai sebelah sekolah.
Beliau tersenyum sesaat sebelum menjawab
“ Betul Ulil, bapak bisa saja menjadi dosen, Bapak juga bisa menjadi guru disekolah favorit disini, karena banyak sekolah yang meminta bapak untuk menjadi salah satu gurunya, dan SMA Bina Nusantara ini salah satunya. Tetapi bapak tidak mau. Karena bapak ingin mengubah kalian yang masih kurang pemahaman akan pentingnya masa depan. Buat apa bapak mengajarkan anak yang memang bisa dan mau untuk belajar? Buat apa bapak menyokong anak yang bisa dan mau untuk sukses?. Tapi yang bapak pikirkan itu kalian yang ada disekolah kita, bapak mungkin tak akan berarti apa-apa jika menjadi guru disekolah favorit, tapi apa yang bapak ajarkan pada murid bapak disekolah kita mungkin akan sangat berarti bagi kalian untuk kehidupan kelak. Ingat, setiap guru menginginkan yang terbaik untuk anak didiknya”. Ungkapan tulus beliau begitu membekas dihatiku, apalagi dengan matanya yang seakan menerawang gambaran kehidupan lima tahun lagi anak didiknya.
Satu lagi pelajaran yang kudapatkan dari beliau hari ini, jangan bangga berada di tengah-tengah kesuksesan orang yang menginginkan kesuksesan, tapi banggalah menjadi salah satu motivator dari suatu keberhasilan orang yang sebelumnya awam.
Sejenak keheningan menghinggapi kami hingga ada seorang lelaki yang berjalan melewati koridor utama. Tidak terlalu tampan, tetapi dia berkharisma, apalagi dengan lambang ketua OSIS di lengan sebelah kirinya.
Melihat aku yang sedikit terpana, beliau berkata “Gantengnya Abang Ketos”goda beliau.
“Nggak pak, Ulil Cuma sedikit kagum aja. Dia kelihatan berwibawa apalagi dia juga gesit handle semua kekurangan pas diacara pembukaan tadi” balasku dengan wajah memerah.
…….
Keesokan harinya
“Gimana Lil sama abang Ketos SMA BinTara?” tanya temanku saat kami rapat membahas lomba bersama Pak Kholis. Rupanya pak Kholis sudah membocorkan hal memalukan kemarin.
“Nggak ada” ucapku.
“Abang OSIS siapa sih? Ganteng gak?” celetuk Dinda, teman di sebelahku.
“Gak tahu, aku udah lupa. Seperti jomblo pada umumnya, aku itu bakalan terpesona saat itu juga. Sesudah itu pasti lupa sama mukanya. Besok-besok, ketemu yang ganteng lagi, terpesona lagi, gitu terus sampai ayam bertelur bebek” cerocosku.
Kami semua tertawa lepas diruangan sederhana tersebut.
…….
Seperti yang aku katakan tadi, aku orang yang sangat pelupa. Tapi ada satu kalimat yang takkan pernah aku lupakan dari pak Kholis, guru favoritku. Beliau pernah berkata
“Bapak ingin menjadi pahlawan buat Ulil dan teman-teman disekolah, yang tidak pernah terlupakan seperti Abang OSIS. Sekali lagi, bapak ingin menjadi pahlawan buat Ulil dan teman teman, yang tidak akan bisa terlupakan sampai tua nanti”.
Selamat hari guru, buat guru-guru hebat di seluruh Indonesia. Terkhusus, selamat hari guru, untuk Pak Kholis guru terfavoritku yang selalu menginspirasi. Untuk kalian semua orang- orang hebat, teruslah menjadi baik dan jangan bosan untuk terus baik.
Edited: rahipa