Tahun 1988, Kota Sipirok hangus dilalap api – Seseorang asal Simaninggir, yang sedang mempelajari suatu ilmu kanuragan, sedang menguji kepiawaiannya. Dari rumahnya, begitulah cerita yang berkembang dalam ruang persidangan di Pengadilan Negeri Tapanuli Selatan, laki-laki kurus yang jadi tersangka kasus bumihangus Kota Sipirok itu membakar Kota Sipirok yang menewaskan satu orang itu hanya dengan menjentikkan jarinya.
Dia membakar Kota Sipirok dari jauh dan tanpa memegang api, dan pasar tua bersejarah, yang dibangun pada akhir abad ke-19 pada era booming perdagangan hasil panen berupa kopi, cengkeh, lada (lada putar), dan karet itu, hangus menjadi tumpukan arang dalam hitungan jam.
Orang-orang menangis. Orang-orang berduka. Kota Sipirok yang selalu ramai pada hari Kamis itu, selama beberapa bulan menjadi kota yang sepi. Tentara didatangkan dari mana-mana untuk berjaga-jaga, siang dan malam. Bersama masyarakat, jaga malam diaktifkan. Tiap malam suasana mencekam. Masyarakat tidur di jalan, di atas tikar yang digelar. Mereka khawatir terjadi lagi aksi pembakaran.
Situasi mulai berubah setelah tersangka pembakaran ditangkap. Tapi Pasar Sipirok yang bangunannya dari kayu dan bentuknya berupa los-los para pedagang, sudah tak ada lagi. Pedagangnya pun tak ada lagi. Mereka trauma. Kehilangan tempat usaha sama dengan kehilangan masa depan.
Kota Sipirok adalah kota tua. Sebuah kota perdagangan yang terbentuk sejak lama, salah satu kota penghasil beras yang menopang posisi Padang Sidimpuan sebagai pusat perdagangan hasil-hasil budidaya pertanian dan perkebunan. Di dalam novel Toelbok Haleon yang ditulis Sutan Pangurabaan Pane dan berlatarbelakang tahun 1900, Sipirok digambarkan sebagai kota yang ramai. Para pedagang pengumpul datang dari Padang Sidimpuan setiap hari Senin, membawa pedati dan kuda beban. Dari hari Senin, mereka akan menempatkan agen-agen penampung hasil panen di empat arah mata angin, menunggu petani datang dari pedalaman membawa hasil panen mereka.
Jauh sebelumnya, beberapa abad yang lampau, Sipirok adalah pusat pengumpulan budak. Para pemilik budak menggiring budak-budaknya ke sebuah tanah lapang yang kini di atas dibangun kompleks kantor Camat Sipirok. Budak-budak itu diikat dengan tali yang dikalungkan dileher dan ada yang dikrangkeng, menunggu sampai datang para pembeli dari Luar Padanglawas.
Pengusaha perbudakan dari Luat Padanglawas adalah pelaku perdagangan budak yang dicatat controleur TJ Willer, penguasa Belanda di Afdeling Padanglawas en Sibuhuan pada 1835 sebagai pusat perbudakan di wilayah Keresidenan Tapanuli. TJ Willer berhenti sebagai controleur karena Gubernur Sumatra Westkust menutup Afdeeling Padanglawas en Sibuhuan lantaran terjadi pemberontak. Tokoh-tokoh Luat Padanglawas menentang kehadiran Belanda karena punya kebijakan menghapus perbudakan, padahal kebijalan itu sebuah penegalan kalau mereka ingin menjadi satu-satunya pihak yang menguasai perdagangan budak.
Catatan Willer, laporan kepada Gubernur Sumatra Westkuth menyebut, budak-budak itu berasal dari Luat Sipirok, orang-orang yang kalah dalam peperangan, dan dijual kepada pengusaha perbudakan di Luat Padang Bolak dan di Luat Mandailing. Luat Sipirok pemasok budak yangenciptakan pasar budak di Sipirok.
Pasar itu kemudian berkembang menjadi pasar komoditas hasil hutan, lalu Belanda datang dan pasar itu diubah menjadi kompelks perkantoran pemerintahan dan tangsi militer. Kemudian, pasar dipindah ke tempat lain di sekitar kompleks kantor pemerintahan, lalu
berubah menjadi pasar komoditas hasil pertanian. Tahun 1989 pasar itu hangus terbakar.