Cahaya senter tak kenal arah bergerak ke kanan dan kiri. Jalanan setapak yang diapit dengan pepohonan yang cukup rindang menjadi akses jalan satu-satunya menuju kontrakan. Cahaya lampu sekitar yang redup menciptakan suasana misterius, walaupun begitu langkahnya tetap berjalan sampai di tempat di mana bulu kuduknya berdiri.
Embusan angin yang cukup cepat, serta bayangan yang mengikutinya sejak tadi, menghentikan langkah wanita berpakaian seperti guru tersebut. Deru napasnya mulai terdengar bersamaan dengan suara burung yang berkicau.
“Astagfirullah, jangan hiraukan,” gumamnya berusaha menyemangati dirinya.
Bukan pertama kalinya wanita tersebut melewati jalanan ini. Ketakutannya bukan tanpa sebab, beberapa tetangga yang tinggal di dekat kontrakan mengatakan ada seorang pemuda yang bunuh diri di pohon kelapa tepat di mana wanita itu sempat berdiri tadi.
“Ibu guru.”
Bisikan yang terdengar jelas di telinga wanita yang memegang erat ranselnya, spontan membuat mulutnya terbuka lebar mengeluarkan suara teriakan hingga tanpa sadar menjatuhkan ponsel dan berlari kencang.
Kakinya terus melangkah kencang mengabaikan tatapan heran rakyat sekitar. Ponsel yang sempat terjatuh tadi diambil oleh seorang pemuda. Pemuda tersebut memanggil wanita tersebut, karena parno akan cerita orang-orang sini, wanita yang berstatus guru tersebut pun langsung lari.
“Puti, kau mau lari ke mana?” teriak pemuda itu kencang.
Langkah Puti langsung terhenti saat dipanggil. Matanya yang fokus pada jalanan di depan mulai menoleh ke belakang. Wajah pucat, keringat mengucur, serta napas yang tersengal-sengal menjadi pemandangan pemuda yang masih memakai sarung.
“Kenapa kau berlari? Aku menunggumu lewat dari tadi.”
Puti menghela napas panjang. “Abang juga sih, kenapa bisik-bisik tadi?”
“Kalau aku teriak, takut semua orang dengar,” kekeh pemuda tersebut.
Pulut Borkat Nasution, seorang pemuda yang menjadi ketua ikatan pemuda di desa ini. Semenjak kedatangan seorang guru dari Bukittinggi, Pulut gencar mendekati guru tersebut. Bukan hal baru lagi jika ada warga setempat yang membicarakan mereka. Hubungan mereka pun bisa dikatakan bukan sebatas teman biasa.
Sementara Bu Guru yang didekatin oleh Pulut bernama Puti Anisa, seorang guru keturunan Minang yang bekerja di antara orang-orang Mandailing. Puti, lebih muda dua tahun dibanding Pulut. Pada awalnya Puti sulit berkomunikasi di kampung ini karena kendala bahasa, tetapi Pulut dengan senang hati membimbingnya. Mungkin itulah awalnya Puti menaruh hati pada Pulut.
Seperti biasa, Pulut akan mengantarkan Puti sampai di depan kontrakan hingga beberapa ibu-ibu yang duduk di sekitar bersorak menggoda mereka berdua. Puti sudah terbiasa dan tidak terganggu sedikit pun.
“Puti, apa benar di kampung kau, warisan pusako tinggi akan diberikan sama anak perempuan?” tanya Pulut.
“Benar karena adat Minangkabau menganut paham matrilineal. Contohnya aku anak perempuan satu-satunya, rumah ibu di kampung saja atas namaku.”
Pulut mengangguk mengerti. Ini adalah hal baru yang tidak biasa didengarnya. Di sini anak laki-laki adalah anak emas. Banyak orang berusaha seusianya mendapatkan anak laki-laki. Budaya Puti jauh berbeda dengan Pulut.
Hubungan yang dianggap biasa oleh Puti tidak disangka akan menjadi seserius ini. Niat gadis itu mengajar di tempat yang jauh dari kampungnya ini karena ingin menambah pengalaman sekaligus menjelajahi alam di sekitar sini.
Keduanya berkomitmen untuk bersama, hingga tibalah saat mereka melangsungkan akad nikah di kampung di mana mereka dipertemukan. Keluarga inti Puti datang, turut merayakan pernikahan keduanya. Penggabungan dua budaya yang berbeda melalui pernikahan, membawa pengetahuan baru untuk kedua keluarga.
“Pulut, ibu picayokan anak ibu samo Nak Pulut. Jan sio-siokan Puti—”
Puti memberikan kode pada sang ibu yang bicara dalam bahasa Minang. Sadar akan pada siapa dirinya bicara, Ibu Puti pun langsung tersenyum malu sambil mengucapkan terima kasih pada sang anak yang sudah mengingatkan.
“Apa yang dibicarakan ibu?” bisik Pulut pada Puti.
Puti memberi kode pada sang ibu untuk mengartikan apa yang baru saja dikatakannya agar sang suami paham. “Biar ibu yang akan menjelaskan,” ucap Puti.
“Puti ini adalah anak perempuan ibu satu-satunya, dalam adat Minang, anak perempuan mempunyai tempat tersendiri. Jaga dia dengan baik dan jangan sia-siakan dia.”
“Saya akan menjaga Puti dengan baik,” ucap Pulut sambil merangkul Puti.
Kebahagiaan keduanya ternyata tidak hanya sampai di sini. Banyak hal yang mereka lupakan. Pernikahan memang menyatukan dua hati, akan tetapi juga dua keluarga, kebiasaan, budaya, dan aspek lainnya.
Dalam keluarga Pulut, anak laki-laki adalah harta yang paling berharga. Bahkan, ada keluarga Pulut yang mempunyai anak lima hanya untuk mendapatkan anak laki-laki. Namun, berbeda dengan adat Minang yang memegang prinsip matrilineal. Puti adalah anak perempuan satu-satunya yang mana mewarisi rumah tua yang menjadi tempat persinggahan saudaranya nanti.
“Bang, ibu meminta kita untuk pindah ke Bukittinggi. Kamu tahu aku yang harus menjaga rumah ibu, sekarang ibu tinggal di rumahnya Da Rio. Puti harus pulang ke Bukittinggi,” ucap Puti berusaha selembut mungkin agar tidak menyinggung perasaan sang suami.
Pulut yang memiliki sifat tegas dan kerasa kepala, tentu tidak semudah itu menyetujui permintaan Puti. Orang tua Pulut sendirian di sini jika ditinggalkan, ibunya sudah sangat tua dan hanya dirinya yang bisa diandalkan.
“Puti, kau tahu di sini Mamak tinggal sendiri. Dia sudah tua, berjalan saja sudah susah. Bagaimana bisa aku tinggalkan dia sendiri.”
“Aku tahu, Bang. Aku tidak bilang harus meninggalkan Mamak di sini. Ayo bawa Mamak ke Bukittinggi.”
“Puti, kau egois. Bukan hanya kau yang dibutuhkan, dalam adatku anak laki-laki sudah seharusnya mengurus mamaknya. Jika kau tidak mau, silakan pergi!”
Keduanya tetap pada pendirian masing-masing. Puti merasa bersalah setiap kali menolak ajakan ibunya untuk pindah ke Bukittinggi. Namun, ia pun tak bisa memaksa pulut. Saat dirinya keluar rumah, Puti mendapatkan hinaan dari warga sekitar. Tidak tahu dari mana orang-orang bisa tahu perihal masalahnya dengan Pulut di rumah.
“Kau tidak tahu diri, beruntung kau dapatkan Pulut, salah satu pemuda kebanggaan kampung ini. Kami tidak akan biarkan Pulut meninggalkan kampung ini. Kau tidak akan pernah paham adat kami.”
“Budaya kita berbeda, kau sendiri yang memilih mengajar di sini. Kami menghargai niat baik kau, tapi tidak dengan membiarkan Pulut menjadi anak durhaka yang meninggalkan Mamaknya.”
Hinaan yang datang silih berganti cukup menekan mental Puti yang sedang goyah. Ditambah dengan suara kecewa ibunya saat ditelepon. Entah apa yang harus Puti jawab pada ibunya jika menelepon untuk mengajaknya pindah ke kampungnya.
“Kau orang asing yang tidak akan bisa paham budaya kami.”
“Mati saja kau!”
Pulut memeluk Puti saat beberapa warga kampung menghina istrinya tanpa henti.
“Jangan dengarkan mereka, maafkan aku. Kita bicarakan saja dulu. Jangan gegabah seperti ini,” pinta Pulut.
“Pulut, untuk apa kau tahan dia. Sudah kukatakan dari dulu, dia tidak tahu apa pun tentang adat kita.”
“Dia tidak pantas dengan kau!”
Puti yang mulai terpengaruh pun melepas pelukan Pulut dan berlari sekencang mungkin. Jalan yang dulunya ditakuti oleh Puti, kini dilewatinya dengan lancar. Tidak jauh dari sini ada sebuah sungai.
“Puti, ayo turun! Jangan tinggalkan aku. Kita akan ke Bukittinggi sesuai permintaanmu!” bujuk Pulut saat melihat istrinya yang sudah berdiri di kayu jembatan yang memiliki aliran sungai yang cukup deras.
“Kau bodoh, Pulut! Untuk apa turuti permintaannya. Mana mungkin dia berani turun!”
“Jangan ikut campur!” tegas Pulut yang geram dengan warga sekitar.
“Maafkan aku, Bang. Sepertinya ini akhir bagi kita. Aku pergi agar tidak menyusahkan mu lagi.” Puti memutuskan untuk terjun bebas masuk ke dalam sungai.
Beberapa warga yang menyaksikannya pun langsung terdiam. Mereka saling berpandangan, tidak disangka ucapan mereka akan berdampak sangat besar untuk orang lain.
Pulut tidak tinggal diam, dia ikut masuk ke dalam sungai untuk mencari sang istri. Warga pun mulai heboh. Mereka menunggu keduanya muncul, selama dua jam barulah Pulut dan Puti muncul, tetapi dalam keadaan tidak bernyawa dan mengambang di atas aliran air. Mereka ditemukan di kampung sebelah karena tertahan oleh batang pisang.
Setelah kematian sepasang kekasih tersebut, jembatan itu menjadi tempat keramat, banyak yang datang kesana untuk mengikat cinta pakai gembok dan kuncinya, banyak pula yang melarung jimat untuk mendapatkan pujaan hatinya. Nama jembatan itu juga beragam, tergantung sudut pandang orang, ada yang menyebutnya jembatan cinta tapi tidak sedikit juga yang menamainya jembatan maut.
****
Penulis : Muttaqin Kholis Ali, Guru Informatika di SMA Negeri 1 Tambangan, Kab. Mandailing Natal, Sumatera Utara.