Moralitas Politik
Tampaknya tidak sedikit dari kita yang merasa “alergi” dengan politik, bahkan ada yang begitu bernafsu penuh hasrat dengan politik, tapi tidak menutup kemungkinan masih ada (walau sedikit) yang menpercayai politik sebuah jalan untuk mencapai tujuan, dalam maksud tujuan yang baik.
Hal-hal yang menganggap bahwa politik itu adalah sesuatu yang “kotor”, suatu jalan memenuhi hawa nafsu kekuasaan dan semacamnya, tidaklah jauh dari akibat pergeseran politik itu sendiri, baik secara maknawi dan praktiknya. Di samping itu, yang masih memberi nilai optimisme pada politik (bukan optimisme manipulatif) masih berjuang dan memperjuangkan bahwa dengan politik sebagai jalan atau pun salah satu bentuk usaha untuk mewujudkan demokrasi dan keadilan, serta kesejahteraan sosial, maka dilekatkanlah sebuah moral pada politik. Tidaklah berlebihan jika kita sebutkan moral akan menjaga politik dari penyimpangan (praktik buruk) dan pemaknaan yang tidak tepat.
Mengutip dari Wikipedia, secara etimologi, moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak: mores) yang berarti kebiasaan, adat. Kata mos (mores) dalam bahasa Latin sama artinya dengan etos dalam bahasa Yunani. Di dalam bahasa Indonesia, kata moral diterjemahkan dengan “aturan kesusilaan” ataupun suatu istilah yang digunakan untuk menentukan sebuah batas-batas dari sifat peran lain, kehendak, pendapat atau batasan perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik maupun buruk. kata ‘moral’ sering disamakan dengan kata ‘etika’, karena kedua kata tersebut sama-sama mempunyai arti kebiasaan, adat. Moral itu sendiri dapat diartikan sebagai: nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Di samping itu, terdapat kata yang berhubungan dengan moral yang merupakan kata berimbuhan yang berasal dari kata ‘moral’, yaitu ‘moralitas’. ‘Moralitas’ adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Jadi, Moralitas suatu perbuatan artinya segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya perbuatan tersebut.
Menurut Adies Kadir (2018: 12) dalam bukunya yang berjudul “Menjaga Moral Pejabat Publik” mengatakan bahwa, moral adalah sebuah ajaran tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Moral juga merupakan kebiasaan yang berlaku di masyarakat berdasarkan ketentuan-ketentuan etika yang ada. Dari moral ini pun melahirkan etika, suatu filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan moral.
Dari pendapat tersebut, kita ketahui bahwa moral mengajarkan tentang bagaimana manusia harus–kata “harus” memberi penegasan–hidup dan berprilaku agar ia menjadi manusia yang baik. Nah, moral ini tujuannya adalah menjadi manusia yang baik. Terkait mengenai perilaku menjadi manusia yang baik, dalam hal ini tidak berlebihan jika kita hubungkan dengan perilaku politik yang baik.
Politik secara jujur kita akui tidaklah lepas dari kehidupan perilaku manusia. Aristoteles mengatakan bahwa politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Kata “warga negara” dalam hal ini tentunya adalah manusia. Usaha-usaha tersebut tidak terlepas dari kaitannya dengan penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan publik oleh pemerintah atau pun negara.
Orientasi politik–yang di dalamnya ada moral–adalah pada nilai-nilai kehidupan bernegara yang positif, bukan pada praktik politik yang selama ini kita lihat menyimpang, tidak sesuai dengan sebuah cita-cita bernegara dan adat kebiasaan masyarakat yang beradab. Politik yang menyimpang ini, meminjam istilah Cak Nur (Nurcholish Madjid) adalah “politicking”.
Apa itu “politicking”? Cak Nur menjelaskan bahwa “politicking” adalah sebuah permainan politik. Dalam perkataan itu terselip pengertian “ngakali” orang lain atau “membodohinya” sehingga dalam rangka perebutan kekuasaan orang atau golongan lain lebih mudah dikalahkan. Sehingga dengan sendirinya tema-tema yang muncul dalam rangka “politicking” tidak pernah menjadi tujuan politik yang bermoral itu sendiri. (Nurcholish Madjid, 2019:1327-1328).
Bukankah itu (baca: politicking) yang secara mayoritas kita lihat sebagai wajah perpolitikan di tanah air kita ini. Politik yang tidak bermoral bahkan membuat perpecahan bangsa kita. Setiap momentum tahun-tahun politik, negara kita terasa begitu gaduh, dan tidak sedikit menimbulkan saling tuding-menuding serta terjadinya pembelahan kelompok masyarakat.
Tidak berlebihan jika kita sebutkan nilai-nilai Pancasila yang selama ini kita rawat terus tercemari oleh praktek politik yang tidak bermoral. Seharusnya, nuansa perpolitikan kita tidak boleh lepas dari Pancasila, yang menjunjung tinggi semangat persatuan dan kesatuan bangsa dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Moral politik dalam negara perlu kita jaga dari permainan politik yang menghalalkan segala cara. Berpolitik harus memiliki moralitas, dengan orientasi menjaga dan memperjuangkan kemaslahatan umat manusia.
Penulis: Abdul Rahman (Ketua Umum HMI Badko Sumut Periode 2021-2023).
Editor: Rahmad Hidayat