Momen pelantikan Kapolsek di Blora, Jawa Tengah itu telah menciptakan kejutan bagi publik, terutama bagi kalangan pers. Berbagai alasan penting dan darurat hingga kontroversi muncul dalam perbincangan terkait intel jadi wartawan sekaligus kontributor di TVRI. Mencermati hal sedemikin dari hulu ke hilir dengan kondisi Indonesia saat ini, sejatinya tidak terlalu mengerankan, sebab kejadian di Blora itu dapat dianggap sebagai fenomena gunung es dalam tantangan dunia pers di Indonesia.
Jauh sebelum kejadian wartawan jadi Kapolsek di Blora, maraknya media rintisan sebagai bagian dari politik partisan juga ikut menyumbang buruknya jurnalisme di Indonesia. Tidak hanya itu, adanya relasi politik yang nyata antara partai politik dengan industri pers hari ini juga mengancam dunia jurnalisme dalam membangun negara bangsa yang berperadaban.
Pada posisi ini sejatinya para pakar/pengamat terkait jurnalistik tidak perlu berlebihan dalam mengomentari kejadian di Blora, namun tidak melihat secara keseluruhan terkait apa yang sedang terjadi pada “pabrik” pers saat ini, apakah pabrik pers tersebut telah menjadi madia arus utama maupun sedang menuju sebagai media arus utama. Sehingga, pada saat kita hendak mengevaluasi dunia jurnalistik di Indonesia tidak seperti kata pepatah, “Gajah di pelupuk mata tak terlihat, semut di seberang pantai terlihat jelas”.
Diakui atau tidak, apa yang disebut media oligarki di Indonesia saat ini semakin menguat, fenomena ini secara otomatis mempengaruhi kualitas jurnalisme di republik ini. Tantangan dunia pers dalam menjalankan fungsi ekonomi dan fungsi sosialnya tidak boleh menjadikan dunia pers hari ini menciptakan rancau bagi dirinya sendiri. Praktik bohir dan orderan konten dalam dunia jurnalistik di Indonesia hari ini telah menjadi rahasia publik yang tak terbantahkan.
Publik hari ini telah cerdas melihat atau menilai kinerja dan kualitas industri pers. Kecerdasan publik dalam menilai kualitas pers di antara dimulai saat memahami sudut pandang yang digunakan media, kecenderungan konten, arah liputan, fokus investigasi hingga siapa bohir politik di belakangnya. Dalam kaedah bisnis, tentu semua ini tidak ada makan siang yang gratis.
Apakah kemegahan gedung atau tower industri pers hari ini sanggup bergantung pada keuntungan iklan atau hasil penjualan berita offline atau online saja? Tentu tidak bukan? Justru dengan posisi seperti inilah sejatinya sebagai warga negara, kita suka atau tidak suka harus berani menampar dunia jurnalistik di negeri kita sendiri, paling tidak dengan tamparan itu senantiasa dapat memicu kontemplasi dan mendorong pembenahan agar perkembangan jurnalistik tidak terus menerus mempermainkan kode etik jurnalistiki dan prinsip kebebasan pers.
Benar bahwa pelaku media, jurnalis, reporter hingga pengusaha pers yang memiliki saham di dalam dunia pers jarang dibuka ke ruang publik, bahkan jarang sekali dijadikan headline news dalam produk pers. Posisi seperti ini bukan berarti industri pers tidak saja cerdas dan canggih dalam mengevaluasi permasalahan di eksternalnya, tetapi juga harus memiliki kecakapan membenahi ekosistem pers di internalnya. Kemudian masing masing pelaku pers juga mesti memiki kesadaran kolektif serta upaya konsolidasi dalam menciptakan ekosistem pers di negeri ini yang mengarah pada prinsip integritas, kredibelitas, profesionalitas yang selalu berpihak kepada kepentingan hajat hidup orang banyak.
Dengan adanya kejadian di Blora ini kita patut bersyukur bahwa dengan kejadian itu telah mengingatkan kita untuk terus mengevaluasi perkembangan dunia pers. Sebab di tahun 2022 bukan saja dunia pers mengalami hantaman yang berubi-tubi, mulai dari ancaman covid-19, digitalisasi, intimidasi jurnalis, hingga ketergantungan pers terhadap penguasa.
Tantangan yang dihadapi oleh dunia pers akan semakin berat ketika memasuki tahapan pilpres 2024. Dalam berselancar di musim politik, tak jarang kita melihat konten atau jurnalis terjun bebas melewati batas-batasannya yang telah diikat oleh kode etik jurnalistik. Pertarungan liar politik hari ini telah berhasil menggoyahkan benteng ketahanan dunia pers. Bahkan dunia pers terpenjara dalam menciptakan konten terbaik untuk kemaslahatan rakyat, dan mendekam di bawah tekanan atau ketergantungan ekonomi.
Belajar dari sejarah runtuh dan berdirinya industri pers, mulai dari masa prakemerdekaan hingga kini, baik itu kasus pemberedelan, hingga pembiaran tanpa memikirkan dampak jangka panjang dari kesehatan dalam berdemokrasi. Untuk itu, dengan terus mendorong kehadiran para pembaca yang kritis dan pelaku jurnalisme yang berbudi luhur, senantiasa akan menjadi kekuatan tambahan untuk menciptakan dunia jurnalistik di Indonesia tidak selalu berada dalam jebakan kuasa oligarki yang telah sukses menyusupi sendi-sendi berbangsa dan bernegara hari ini.
Aspek kesehatan dunia pers harus terus diperhatikan, tanpa kehadiran dunia pers akan menjadikan kehidupan berbangsa dan bernegara akan semakin liar. Tanpa adanya para pelaku pers, mata kekuasaan tidak akan melihat warga negara yang lemah. Tanpa industri pers pula tidak ada yang namnya kesejahteraan media dan keberlanjutan jurnalistik dalam mengawal perwujudan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Namun, jika ekosistem dunia jurnalistik terus-terusan terjerumus dalam praqmatisme, maka sudah dapat dipastikan Indonesia tidak akan pernah memiliki kekuatan kejernihan dalam mengungkap fakta. Bisa jadi, dampak lanjutannya adalah kebohongan penguasa akan menjadi prestasi sejarah bagi generasi di kemudian hari.