Keberengsekan Jakarta. Satu kata beribu makna, ia menyimpan misteri tersendiri yang tak satu generasi pun tuntas menguaknya. Jakarta terselipkan berbagai peristiwa yang barangkali terus ditumbuhkan hari ini, dan barangkali pula ia sengaja ditanam sedalam-dalamnya hingga tak seorangpun yang mampu atau berani menyentuhnya.
Jakarta terkadang dicitrakan sebagai tempat strategis untuk mengadu nasib bagi generasi Indonesia. Jakarta kota serba ada, kota kolaborasi mencapai kesejahteraan, kota berkemajuan seiring lubang kesenjangan yang terus mengaga, baik dari sisi pinggir maupun sisi dapur politiknya. Lubang itu bisa jadi dalam bentuk individualistik warga maupun egoisme elite bahkan lenggang bebas swastanya.
Jakarta memang menggoda, berpendidikan, daya gerak ekonomi melaju meskipun ia dikatakan hendak karam dan sedang proses menuju dataran baru yang kemudian disebut ibu kota baru. Tampilan Jakarta memang toleran, elegan, metropolitan, gemerlap malam yang eksotis, gedung-gedungnya mencakar lagit meskipun tidak diketahui siapa pemiliknya, pun bukan hak kita untuk mengetahui siapa pemilik gedung-gedung pencakar langit tersebut.
Pembangunan infrastruktur Jakarta berkembang pesat bukan saja hari ini, semenjak Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan, sejak birokrasi Jakarta mulai ditata oleh teknokrat-teknokrat kepercayaan Soekarno. Jakarta pun tak lepas sebagai kota propaganda masa itu. Nama-nama seperti Pancoran dan bundaran Hotel Indonesia (HI) menjadi kunci memori tersendiri bagi khalayak mencermati Jakarta dari masa ke masa.
Meskipun sosok Soekarno tidak dapat dilepaskan dari eksistensi Jakarta, demikian halnya sederet nama-nama tokoh lainnya yang ikut andil membangun Jakarta dengan sedemikian hasrat, kepentingan, keuntungan dan rupa. Ada nama Soeharto di sana, Gus Dur, Megawati, dan banyak tokoh lainnya bisa penulis tambahkan. Empat nama yang penulis sampaikan di atas (Soekarno, Soeharto, Gus Dur dan Megawati). Nama-nama ini adalah nama yang pernah menjadi orang nomor satu di Indonesia, pasang surut karirnya tidak lepas di Jakarta.
Soekarno, pemimpin revolusi, pemimpin kuat gagah dan berani, namanya besar bagi pemimpin dunia, tapi di “Jakarta” ia lengser atau dilengserkan dari jabatannya sebagai presiden Republik Indonesia. Demikian halnya Soeharto, seorang yang top di militer, juga cerdas, tegas dengan garis komando, punya visi pembangunan, terlebih di sektor pangan, kendali bikrokrasinya dari ibu kota hingga ke jantung pemerintahan desa, kemudian orang orang menyebutnya diktator. Di Jakarta, ia juga lengser atau dilengserkan. Mahasiswa generasi 1998 cukup paham soal ini.
Selanjutnya, Gus Dur, seorang yang memiliki kharisma, religius, keturunan ulama besar, prestasi politiknya dalam menciptakan toleransi umat beragama tak diragukan dunia. Demikian pula nyalinya yang tak kalah besarnya, hingga ia mengusungkan bubarkan DPR-RI. Namun demikian, di Jakarta, ia juga lengser atau dilengserkan. Peristiwa ini para pengamat politik menyebutnya peristiwa yang dilatarbelakangi oleh konflik segi tiga.
Kemudian, Megawati, anak kandung dari seorang pemimpin revolusi. Perempuan cerdas, dari kecil hingga dewasa terbiasa bertemu tokoh-tokoh pemimpin dunia, ia menjadi presiden perempuan pertama sepanjang sejarah Indonesia. Di Jakarta, ia memang tidak dilengserkan atau melengserkan seorang presiden Republik Indonesia, namun namanya tidak dapat dihapus dari deretan yang ikut terlibat dalam melengserkan seorang presiden Republik Indonesia.
Pemaparan tipis-tipis dari empat sosok yang disampaikan di atas telah memberi bukti dan sinyal bahwa di Jakarta menyimpan misteri, apakah itu misteri politik, hukum, pendidikan, agama hingga soal keadilan dan kemakmuran rakyat. Misteri-misteri tersebut saat ini tidak ada yang diselesaikan dengan tuntas, hingga dari Jakarta kemudian roda kehidupan di seluruh Indonesia terus berputar, ia terus menambah tumpukan misteri dari misteri baru ke misteri baru lainnya. Dari sentralisasi ke desentralisasi, berputar-putar tak karuan juga nasib rakyat Indonesia. Serangkaian maksud narasi inilah yang disebut dengan keberengsekan Jakarta.
Objek keberengsekan Jakarta ini juga dapat dilihat dari pandangan idealitas dan realitas terkait Jakarta dari masa ke masa, termasuk masa saat ini. Tampilan-tampilan di Jakarta semakin berengsek seiring meningkatnya perangkat teknologi, baik teknologi yang bersifat lunak maupun non-lunak. Disadari atau tidak, Jakarta juga dapat disebut pintu masuk saat hendak melihat segala bentuk keberengsekan di seluruuh wilayah tanah air. Dalam konteks ini, Jakarta tidak dapat diartikan secara dangkal. Barangkali tulisan ini sedang membicarakan Jakarta yang bukan Jakarta, atau Jakarta melampaui Jakarta.
Dari seluruh ibu kota di dunia, ada yang unik di Jakarta, salah satu keunikannya dapat dilihat di jalan tolnya, pemandangan jalan tol yang macet serta banjir telah menjadi pemandangan biasa meskipun ada gubernur DKI Jakarta yang ambisinya untuk dapat menyelesaikan persoalan macet dan banjir di Jakarta. Hari ini (2022) macet dan banjir belum satu gubernur DKI Jakarta pun yang mampu menyulap banjir dan macet dari sebuah tatakelola-kompleksitas Jakarta.
Keberengsekan Jakarta mungkin telah menjadi daya tarik tersendiri, tak dipromosi pun untuk datang ke Jakarta, orang-orang tetap mengunjuginya. Mungkin karena keberengsekannya itulah orang-orang masih ingin berkarir di Jakarta. Suatu keberengsekan yang membuka peluang, suatu keberengsekan yang benar-benar menantang. Sebab di Jakarta semuanya ada, semuanya bisa terjadi, semuanya bisa disulap, monetisasinya menggeliat kencang, semuanya bisa direkaya, ada uang-ada barang, ada modal-ada pelayanan.
Oleh karena itu tidak keliru rasanya ketika mengatakan keberengsekan Jakarta adalah nama lain dari kalimat destinasi wisata masa kini. Akhirnya, catatan ini masih berposisi pada benang merahnya bahwa Jakarta memang berengsek, keberengsekan ini mungkin miniatur dari keberengsekan Indonesia yang tak banyak orang-orang yang jujur mengakuinya.