Bukit Pegayaman merupakan sebuah desa kecil yang terletak di kaki Gunung Sorik Marapi, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Desa ini dikelilingi oleh keindahan alam yang mempesona. Selain itu, penduduknya juga hidup bahagia dan sederhana. Mereka menjalani kehidupan dengan damai, jauh dari hiruk-pikuk perkotaan. Namun, kehidupan mereka berubah secara drastis ketika sebuah kabar mengguncang desa Bukit Pegayaman.
Kabar tersebut berasal dari sekelompok pencari emas yang baru saja tiba di desa ini. Mereka membawa cerita tentang keberadaan harta karun yang melimpah di lereng Gunung Sorik Marapi. Penduduk desa tidak bisa menolak godaan kekayaan yang begitu besar, dan beberapa di antara mereka ikut serta dalam ekspedisi mencari emas tersebut.
Kelompok pencari emas terdiri dari tujuh orang yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka adalah Rama, seorang geolog berpengalaman yang menemukan petunjuk pertama mengenai potensi emas di Gunung Sorik Marapi; Henry, seorang pengusaha kaya yang mendanai ekspedisi; Karen, seorang insinyur pertambangan yang handal; Arkan, seorang petualang berpengalaman; Nilam, seorang ahli botani; Roni, seorang tukang kayu; dan Andi, seorang pemandu lokal.
Pendakian pertama mereka menuju puncak Gunung Sorik Marapi penuh semangat dan harapan. Mereka membawa perlengkapan lengkap dan bekal makanan yang cukup untuk beberapa minggu. Dengan cerita-cerita kekayaan yang melimpah dan kilau emas yang memikat di mata, mereka melewati padang rumput yang hijau dan hutan yang lebat.
Rama mendaki gunung sambil terus mengecek peta, kemudian berkata pada dirinya sendiri, “Ini harus menjadi jalur yang benar. Petunjuk awal saya sangat jelas, dan kami sudah cukup dekat dengan daerah yang dikabarkan mengandung emas.”
“Cuaca tidak begitu mendukung, tapi kita harus tetap berhati-hati. Pertambangan ini berisiko tinggi,” ucap Karen menginfokan pada semua orang menggunakan senter untuk melihat di sekitarnya.
Namun, semakin tinggi mereka mendaki, semakin tebal kabut yang menyelimuti hutan. Cuaca yang semula cerah berubah menjadi mendung dan lembap. Mereka harus memperlambat langkah mereka, berhati-hati melintasi jalan yang licin dan berbatu. Para pendaki ini sudah terlalu terlena oleh janji kekayaan, sehingga mereka tak menyadari bahwa Gunung Sorik Marapi adalah tempat yang tidak ramah.
Di tengah perjalanan, Arkan dengan semangat petualangan berkata, “Itu baru asyik, kan? Petualangan kita, mencari harta karun di tengah alam liar.”
“Andaikan saya bisa menemukan tanaman eksotis di sini. Mungkin saya bisa menambah koleksi botani saya,” ujar Nilam sambil menyentuk tanaman di sekitarnya.
Roni yang mendengar perkataan orang-orang mengangguk dengan yakin seraya mengucapkan, “Saya akan membuat perlengkapan yang kita butuhkan saat kita sampai di puncak. Semua akan berjalan lancar.”
Setelah beberapa hari pendakian, kelompok ini mencapai puncak pertama. Mereka sangat kecewa karena tidak menemukan jejak emas di sana. Rama, si geolog, mengecek kembali data dan petunjuk yang dimilikinya, mencoba meyakinkan yang lain bahwa mereka harus melanjutkan ke puncak utama.
Karen yang sudah mulai kelelahan berucap dengan nada khawatir, “Cuaca memburuk, dan kita belum menemukan tanda-tanda emas. Mungkin kita perlu memikirkan kembali rencana ini.”
“Nampaknya kita belum sampai di tempat yang benar, tapi jangan kecewa. Mungkin emas ada di puncak utama. Saya yakin itu,” kata Rama memberi tahu orang-orang sambil memeriksa batuan di sekitarnya.
“Tidak, kita sudah terlalu jauh untuk mundur sekarang. Kita harus terus mencari. Emas itu ada di sini, saya yakin!” ujar Henry dengan tegas.
Ketika mereka akhirnya mencapai puncak Gunung Sorik Marapi, cuaca semakin buruk. Hujan deras mulai turun, membuat jalan mereka semakin licin. Karen, yang paling berpengalaman dalam pertambangan, mulai khawatir. Namun, Henry, sang pemodal, bersikeras mereka harus terus mencari emas.
Hari-hari berlalu, dan kelompok ini semakin terjebak dalam badai dan kabut yang semakin pekat. Mereka kehabisan makanan dan obat-obatan. Dalam keputusasaan, Nilam mencoba meminum air dari sebuah mata air yang mereka temui, tanpa menyadari bahwa air tersebut mengandung zat beracun. Setelah beberapa saat, dia jatuh sakit dengan perut yang terasa menusuk dan tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk menyelamatkannya.
Ketika Nilam meninggal, suasana menjadi semakin tegang. Mereka mulai merasa bersalah atas kematian Nilam dan mempertanyakan keputusan mereka untuk datang ke gunung ini. Mereka saling menyalahkan, dan ketegangan semakin memuncak. Henry yang terobsesi dengan emas mulai bertindak semakin arogan dan memaksakan pendapatnya pada yang lain.
“Tidak ada yang bisa kita lakukan untuk mengubah masa lalu. Yang perlu kita lakukan sekarang adalah bertahan hidup dan menemukan jalan keluar,” ucap Karen mengemukakan pendapatnya.
Sementara Henry masih dengan keyakinanannya untuk mencari emas dan berkata, “Kita harus terus mencari emas. Itulah satu-satunya cara kita bisa keluar dari sini dengan kekayaan yang besar. Kematian Nilam adalah pengorbanan yang tak terelakkan.
Beberapa minggu berlalu, kekuatan kelompok ini semakin lemah. Mereka kelaparan, dehidrasi, dan sangat terpapar oleh elemen. Roni, yang pada awalnya berharap bisa menggunakan keterampilannya sebagai tukang kayu untuk membuat perlengkapan, kehilangan harapan. Dia merasa tak berguna karena tidak dapat membantu kelompoknya.
Ketegangan mencapai titik puncaknya ketika Arkan, yang sebelumnya penuh semangat, mendapati tasnya yang berisi beberapa potongan emas telah hilang. Semua anggota kelompok mengeluh dan berteriak-teriak, mencurigai satu sama lain. Mereka menyalahkan Arkan, tetapi dia bersumpah dia tidak tahu apa-apa.
Keesokan harinya, Arkan ditemukan tewas di dalam tenda mereka. Kehadiran emas yang hilang misterius, bersama dengan kenyataan bahwa mereka terjebak di gunung ini, mulai menimbulkan paranoid di antara mereka. Masing-masing anggota kelompok berusaha mempertahankan diri mereka sendiri.
Seiring berjalannya waktu, kelompok ini semakin terpecah. Mereka tidak percaya satu sama lain, dan semakin sering terjadi pertengkaran dan tindakan kekerasan. Henry, yang semula adalah pemimpin kelompok, menjadi semakin tidak stabil, terobsesi dengan emas dan kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Terjadilah cekcok besar antara Henry, Karen, dan Arkan.
Keadaan mencapai titik puncaknya. Tegang dan frustasi, kelompok ini berada di ambang kehancuran. Mereka tidak lagi melihat satu sama lain sebagai teman, melainkan sebagai ancaman bagi emas yang mereka buru. Pertengkaran berubah menjadi pertempuran fisik, dan suara teriakan dan bunyi pukulan menggema di malam yang gelap, yang berakhir dengan kematian Karen. Nilam, Arkan, dan Karen telah tiada, dan yang tersisa hanyalah Rama, Henry, Roni, dan Andi.
“Karen, Nilam, dan Arkan sudah mati! Dan ini semua gara-gara obsesimu dengan emas, Henry,” ucap Roni menahan emosi.
Henry yang tidak terima karena ia disalahkan berteriak pada semuanya, “Kalian semua tidak mengerti! Emas itu adalah segalanya! Aku tidak akan membiarkannya pergi begitu saja!”
Kehidupan di Gunung Sorik Marapi semakin menjadi neraka bagi mereka. Mereka tidak bisa menemukan jalan keluar, terlilit dalam kabut yang semakin tebal dan hutan yang begitu lebat. Mereka tidak punya makanan, dan emas yang mereka cari telah menjadi kutukan yang mematikan.
Ketika kelompok ini semakin menyusut, mereka merasa semakin terjebak dalam lingkaran setan. Mereka terus mencoba mencari jalan keluar, tetapi semua upaya mereka sia-sia. Henry, yang dulunya penuh keberanian dan obsesi, sekarang adalah sosok yang penuh penyesalan. Dia merasa bersalah atas semua yang telah terjadi dan menyalahkan dirinya sendiri.
Rama, yang selama ini menjadi satu-satunya yang masih waras, mencoba untuk mempertahankan kewarasan kelompok ini. Dia merencanakan beberapa upaya terakhir untuk mencari jalan keluar. Namun, keadaan semakin tidak mendukung mereka. Mereka semakin lemah dan terluka.
Saat malam tiba, Rama mendapati bahwa Henry telah meninggalkan mereka. Henry telah memilih untuk bunuh diri, tak mampu lagi menghadapi rasa bersalah dan keputusasaan. Kelompok ini kini hanya tinggal tiga orang: Rama, Roni, dan Andi.
Mereka terjebak di atas Gunung Sorik Marapi, terpisah dari dunia luar dan tak mampu menemukan jalan keluar. Mereka tak punya harapan lagi. Rama, yang selama ini menjadi pilar kelompok ini, sekarang juga merasa terjebak dalam rasa bersalah yang tak tertahankan. Ketiganya semakin melemah, dan rasa putus asa semakin menghantui mereka.
Malam itu, saat angin sejuk bertiup lembut di atas puncak gunung, Rama mengambil sebuah keputusan. Dia memutuskan untuk bunuh diri, membebaskan dirinya dari penderitaan yang tak tertahankan ini. Dia meninggalkan sebuah catatan, mengucapkan selamat tinggal pada Roni dan Andi, dan pergi meninggalkan tenda mereka untuk selamanya.
Roni dan Andi terbangun di pagi hari, mencari Rama, tetapi tidak menemukannya. Mereka merasa sendirian dan terasing di puncak gunung yang tak ramah ini. Dalam keputusasaan, mereka berdua memutuskan untuk mencoba mencari jalan keluar satu kali lagi. Mereka keluar dari tenda dan mencoba mengikuti jejak mereka sebelumnya.
Namun, seperti kelompok sebelumnya, mereka tak bisa menemukan jalan keluar. Mereka semakin lelah, kelaparan, dan terluka. Rasa putus asa merajalela. Saat akhirnya mereka sadar bahwa mereka tak akan pernah keluar dari gunung ini, mereka mengambil keputusan yang sama dengan yang lain sebelumnya.
Roni dan Andi, yang telah terjebak di Gunung Sorik Marapi selama beberapa bulan, akhirnya memutuskan untuk bunuh diri. Mereka tahu bahwa tak akan ada pertolongan yang datang, dan mereka tak bisa lagi menghadapi penderitaan ini. Dengan hati yang berat, mereka mengakhiri hidup mereka di atas puncak gunung yang telah menjadi penjara bagi mereka.
Kisah Gunung Sorik Marapi menjadi legenda di desa Bukit Pegayaman. Sebuah legenda yang mengingatkan manusia tentang keserakahan, ketidakbertanggungjawaban, dan kutukan yang bisa mengikuti mereka jika mereka melupakan nilai-nilai kehidupan yang sebenarnya. Gunung Sorik Marapi tetap menjadi tempat yang misterius dan mematikan, mengingatkan kita akan harga yang harus dibayar ketika kita mencoba mengeksploitasi alam dengan gegabah.
Penulis : Muttaqin Kholis Ali, Guru Informatika SMA Negeri 1 Tambangan, Kab. Mandailing Natal, Sumatera Utara.