Abdul Haris Nasution, Jendral Besar Asal Mandailing
Nama Jenderal Besar Abdul Haris Nasution atau A.H.Nasution sudah tidak asing lagi bagi sebahagian besar masyarakat Indonesia. Abdul Haris Nasution adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang pernah menjabat sebagai Wakil Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) pada 1948.
Lalu, ketika Agresi Militer Belanda II terjadi pada 19 Desember 1948, Nasution-lah yang mempelopori pembentukan Pemerintahan Militer Indonesia dari gerilyanya. Tahun 1950, ia dipercaya menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dan langsung melakukan reorganisasi dalam struktur internal AD.
A.H.Nasution lahir di Hutapungkut, Kotanopan, Sumatera Utara 3 Desember 1918.
Perjalanan militer Pak Nas dimulai pada 1940, saat Jerman Nazi berhasil menduduki Belanda dan pemerintah kolonial Belanda membentuk korps perwira cadangan yang menerima orang Indonesia. Nasution kemudian bergabung, karena ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan pelatihan militer. Seiring dengan beberapa orang Indonesia lainnya, ia dikirim ke Akademi Militer Bandung untuk pelatihan.
Bulan September 1940 ia dipromosikan menjadi kopral, tiga bulan kemudian menjadi sersan. AH Nasution, kemudian menjadi seorang perwira di Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL).
Tahun 1942 saat Jepang menyerbu dan menduduki Indonesia. Nasution sedang ditugaskan di Surabaya untuk mempertahankan pelabuhan. Nasution kemudian menemukan jalan kembali ke Bandung dan bersembunyi, dan berhasil lolos dari pasukan Jepang. Ia kemudian membantu milisi PETA yang dibentuk oleh penjajah Jepang dengan membawa pesan, tetapi tidak benar-benar menjadi anggota.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Nasution bergabung dengan militer Indonesia yang kemudian dikenal sebagai Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Selanjutnya pada Mei 1946, ia diangkat Panglima Regional Divisi Siliwangi, yang memelihara keamanan Jawa Barat. Dalam posisi ini, Nasution mengembangkan teori perang teritorial yang kemudian menjadi doktrin pertahanan Tentara Nasional Indonesia.
Pada Januari 1948, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda menandatangani Perjanjian Renville, membagi Jawa antara daerah yang dikuasai Belanda dan Indonesia. Karena wilayah yang diduduki oleh Belanda termasuk Jawa Barat, Nasution dipaksa untuk memimpin Divisi Siliwangi menyeberang ke Jawa Tengah.
Selanjutnya, pada 1948 Nasution naik ke posisi Wakil Panglima TKR. Meskipun hanya berpangkat Kolonel, penunjukan ini membuat Nasution menjadi orang paling kuat kedua di TKR, setelah Jenderal Soedirman.
Setelahnya pada April 1948, ia membantu Jenderal Soedirman mereorganisasi struktur pasukan. Pada bulan Juni, pada sebuah pertemuan, saran Nasution bahwa TKR harus melakukan perang gerilya melawan Belanda disetujui. Meski bukanlah Panglima TKR, Nasution memperoleh pengalaman peran sebagai Panglima Angkatan Bersenjata pada bulan September 1948 saat Peristiwa Madiun.
Peristiwa G30S
Dinihari 1 Oktober 1965, pasukan yang menyebut diri mereka Gerakan 30 September (G30S) mencoba menculik tujuh perwira Angkatan Darat antikomunis termasuk Nasution. Letnan Arief yang memimpin pasukan untuk menangkap Nasution, dan timnya yang terdiri dari empat truk dan dua mobil militer berjalan menyusuri Jalan Teuku Umar yang sepi pada pukul 04.00 WIB pagi. Rumah Nasution di Jalan Teuku Umar Nomor 40. Saat tiba, para penjaga rumah Nasution tak curiga dengan kedatangan mereka karena menggunakan pakaian layaknya tentara pada umumnya.
Sersan Iskaq, yang bertanggung jawab menjaga rumah saat itu sedang berada di ruang jaga yang terletak di ruang depan bersama beberapa tentara. Sedangkan, beberapa di antaranya sedang tidur. Dua ajudan Nasution yakni Letnan Muda Pierre Tendean dan Ajun Komisaris Polisi Hamdan Mansjur pun sedang tertidur.
Sebelum alarm menyala, pasukan Letnan Arief telah melompat pagar dan menguasai para penjaga yang mengantuk di pos jaga dan ruang jaga. Lainnya masuk dari seluruh sisi rumah dan menutupinya dari belakang. Sekitar lima belas tentara masuk ke rumah.
Nasution dan istrinya terganggu oleh nyamuk dan terjaga. Mereka tidak mendengar para penjaga yang telah dikuasai tapi Nyonya Nasution mendengar pintu dibuka paksa. Dia bangkit dari tempat tidur untuk memeriksa dan membuka pintu kamar tidur, ia melihat tentara Cakrabirawa (pengawal presiden) dengan senjata siap menembak.
Dia menutup pintu dan berteriak memberitahu suaminya. Nasution ingin melihatnya dan ketika dia membuka pintu, tentara menembak ke arahnya. Dia melemparkan dirinya ke lantai dan istrinya membanting dan mengunci pintu. Orang-orang di sisi lain mulai menghancurkan pintu bawah dan melepaskan tembakan-tembakan ke kamar tidur.
Nyonya Nasution mendorong suaminya keluar melalui pintu lain dan menyusuri koridor ke pintu samping rumah. Nasution berlari ke halaman rumahnya menuju dinding yang memisahkan halamannya dengan Kedutaan Besar Irak. Dia ditemukan oleh tentara yang kemudian menembaknya tapi meleset. Memanjat dinding, Nasution mengalami patah pergelangan kaki saat ia jatuh ke halaman Kedutaan Irak untuk bersembunyi.
Seluruh penghuni rumah terbangun dan ketakutan oleh penembakan itu. Ibu dan adik Nasution, Mardiah, juga tinggal di rumah dan berlari ke kamar tidur Nasution. Mardiah membawa putri Nasution Ade Irma Suryani Nasution (5) dari tempat tidurnya, memeluk erat anak itu dalam pelukannya, dan mencoba lari ke tempat aman.
Saat ia berlari, seorang kopral dari penjaga istana melepaskan tembakan ke arahnya melalui pintu. Irma tertembak dan menerima tiga peluru di punggungnya. Dia meninggal lima hari kemudian di rumah sakit. Sementara putri sulung Nasution, Hendrianti Saharah (13) dan perawatnya Alfiah sudah lari ke rumah pondok ajudan Nasution dan bersembunyi di bawah tempat tidur.
Tendean mengambil senjatanya dan lari dari rumah, tapi ia tertangkap dalam beberapa langkah. Dalam kegelapan, ia membuat kesalahan dan sudah berada di bawah todongan senjata. Setelah mendorong suaminya keluar rumah, Nyonya Nasution lari ke dalam dan membawa putrinya yang terluka.
Saat ia menelepon dokter, pasukan Cakrabirawa menuntutnya agar memberitahu mereka di mana keberadaan suaminya. Kabarnya dia melakukan percakapan singkat sambil marah-marah dengan Arief dan mengatakan kepadanya bahwa Nasution sedang keluar kota selama beberapa hari. Pasukan itu pun pergi dari rumah Nasution dan membawa Tendean pergi dengan mereka.
Nasution terus bersembunyi di halaman tetangganya sampai pukul 06.00 WIB ketika ia kembali ke rumahnya dalam keadaan patah pergelangan kaki. Nasution kemudian meminta ajudan untuk membawanya ke Departemen Pertahanan dan Keamanan karena dia pikir itu akan lebih aman di sana. Nasution kemudian mengirim pesan kepada Soeharto di markas Kostrad, mengatakan kepadanya bahwa ia masih hidup dan aman.
Setelah mengetahui bahwa Soeharto mengambil alih komando tentara, Nasution kemudian memerintahkan dia untuk mengambil langkah-langkah seperti mencari tahu keberadaan presiden, menghubungi Panglima Angkatan Laut RE Martadinata, Komandan Korps Marinir R Hartono serta Kepala Kepolisian Soetjipto Joedodihardjo, dan mengamankan Jakarta dengan menutup semua jalan yang mengarah ke sana. Angkatan Udara tidak termasuk karena Panglima Omar Dhani dicurigai sebagai simpatisan G30S. Soeharto segera mengintegrasikan perintah tersebut ke dalam rencananya untuk mengamankan kota.
Sekira pukul 14.00 WIB, setelah Gerakan 30 September mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi, Nasution mengirim perintah lain untuk Soeharto, Martadinata dan Joedodihardjo. Dalam rangka itu, Nasution mengatakan bahwa ia yakin Soekarno telah diculik dan dibawa ke markas G30S di Halim. Dia langsung memerintahkan ABRI untuk membebaskan Presiden, memulihkan keamanan Jakarta, dan yang paling penting, menunjuk Soeharto sebagai kepala operasi.
Pada 5 Oktober 1997, bertepatan dengan hari ABRI, Nasution dianugerahi pangkat Jenderal Besar bintang lima.
Pak Nas tutup usia di RS Gatot Soebroto pada 6 September 2000, dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
Penulis: Asrul Azis Nasution
Editor: Rahmad Hidayat